Marzuki ibn Tarmudzi
catatan 2/6/2004
Syahdan, saya mendongak serasa muntah.
Al-Banna, teman lama yang hampir ku buang. Bukan karena dia miskin,jauh dari
kata jijik atau singkatnya, dia kaGak gaul”. Bukan!!
Ia santri yang punya daya kritik intelektual.
Ya, jujur saya berujar, “manusia intelek lebih ku junjung dari sekedar
hartawan”.
Seakan ataukah memang nyata. Al-Banna, dengan
tangkap kritis, sok lebih senior berujar di depan muka saya, “kamu tidak punya
sekaligus kamu bukan manusia yang sesungguhnya. Perasaan telah tack of darimu”,
sembari Al-Banna mengamati karya tulisku.
Geram. Kepalan tangan saya ingin sekali
mendarat di wajah Al-Banna. Kritikan demi kritikan mengalir tanpa henti-hentinya.
“Ah otakmu hanya kau install dengan
gerakan-gerakan birahi. Padahal ada sisi terindah dari perempuan. Cinta. Sekali
lagi cinta. Iapun meneruskan, kamu tidak punya cinta. tolol. Kamu jahil
murrakkab. Kamu tidak mengenal estetika, seni, sastra. Ibarat, kamu makan hanya
sekedar kenyang. Ironisnya lagi, hidupmu hanya terdedikasi untuk ngencuk,
mbathang, tak lebih, cuk-cuk ngono kon you rip cuk-cuk”.
Begitu marahnya padaku. Dia dengan penuh wibawa
dan sorot mata yang tajam menatap mata saya dan membanting tulisan yang ku
banggakan. Saya pura-pura tidur dan tidur beneran. Dia pergi meninggalkan saya
ketika saya berkelana dalam dunia mimpi. Sontak saya terperangah sambil
selidik,”di mana Al-Banna”.
Sang pembelajar lebih afdhol dikatakan layaknya benda mati, bila ia tidak cepat bisa merespon
dari kritikan lantas bangkit dari keterpurukan menuju proses yang lebih baik.
Kerbau saja, tidak akan pernah mau mendatangi tempat yang sama dimana ia
kemarin celaka di tempat itu. Padahal kerbau sering di buat bahan hinaan,
cercaan bagi orang dungu. Ya, Ia tak akan mungkin dan mendatangi tempat, di
mana kemarin sore majikannya telah membawanya terpeleset nyaris jatuh ditempat
pinggiran sungai itu. Konyol!! Bila kita tak ada perbaikan.
Tag;
Sastra pesantren, senarai gundah pojok
pesantren, santri menulis, santri dan jurnalistik, kitab kuning, kitab
inarotudduja, pesantren kyai mojo, indomaret tambak beras jombang, rona dua,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar